Privasi atau Fakta Privat Menteri Susi sebagai (Bahan) Berita Merupakan Ghibah - “Susi Akui Hidupnya Porak-poranda sejak Jadi Menteri.” Ini judul berita di metrotvnews.com (7/11-2014).
Mengapa hal itu (bisa) terjadi?
Hal itu terjadi al. karena “ulah” sebagian wartawan yang terur-menerus menguntit dan mengikuti Menteri Susi dan memberitakan hasil kuntitannya melalui media massa dan media online. Rupanya, tidak sedikit wartawan yang lebih memilih untuk mengumbar sisi pribadi Susi Pudjiastuti daripada peranannya sebagai menteri kelautan dan perikanan.
Misalnya, ada media massa dan media online yang mem-blow up Susi ketika “tertangkap” wartawan sedang merokok di tempat yang tidak dilihat oleh umum setelah pelantikannya sebagai menteri.
Merokok memang dilarang di kawasan Istana, tapi apakah ada jaminan bahwa tidak ada satu pun pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara yang merokok di lingkungan Istana?
Begitu juga dengan menteri-menteri yang dilantik Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri pada kabinet sebelumnya, seperti Kabinet Pres Habibie, Kabinet Pres Gus Dur, Kabinet Pres Megawati dan dua Kabinet Pres SBY, apakah sama sekali tidak ada menteri di kabinet-kabinet itu yang merokok?
Kalau ternyata ada, maka wartawan sudah melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Menteri Susi hanya karena dia “tertangkap basah” oleh wartawan. Ini hanya suatu kesialan atau apes bagi Menteri Susi.
Disebutkan oleh Susi bahwa sejak ada berita dan gambar Susi merokok setelah pelantikan, banyak ibu-ibu yang mengirim pesan pendek ke dia. “Karena ada tayangan itu, ada ibu-ibu yang SMS kepada saya. Bu anak saya nge-fans banget sama Ibu, tapi kenapa Ibu merokok. Kan kalau anak itu mengikuti seperti saya, gimana coba nanti.”
Nah, kalau misalnya ada ayah atau ibu yang merokok, apakah itu tidak bisa mempengaruhi anak-anak mereka?
Ya, SMS itu boleh-boleh saja karena ibu tadi khawatir anaknya menerim Menteri Susi.
Pertanyaannya: Apakah di lingkungan keluarga ibu itu ada yang merokok?
Kalau ada tapi ibu itu tidak khawatir itu menunjukkan anggota keluarga ibu itu tidak (bisa) menjadi panutan anaknya.
Begitu juga ketika ada media massa dan media sosial yang memberitakan tentang tattoo yang ada pada bagian tubuh Menteri Susi juga sangat tidak etis karena tattoo di badan bersifat pribadi
Dua hal itu tidak berkaitan langsung dengan jabatan dan pekerjaannya. Itu lebih kepada masalah privasi pada diri setiap orang yang tidak mengusik privasi orang lain.
Karena informasi yang disebarkan oleh media massa dan media online itu merupakan fakta privat atau privasi, maka bisa jadi hal itu termasuk sebagai ghibah. Secara harfiah ghibah diartikan sebagai gunjingan. Bisa juga disebut gosip. Dalam arti yang luas ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok (id.wikipedia.org).
Begitu juga dengan informasi tentang pendidikannya yang tidak lulus SMA, juga jadi bahan gunjingan di media massa dan media online yang berkembang ke media sosial. Padahal, tidak sedikit pejabat yang dilaporkan memakai ijazah palsu untuk persyaratan sebagai pejabat dan anggota badan legislatif.
Disebutkan pula oleh Menteri Susi: “Media ini membuat kehidupan saya porak poranda. Pernah ketika wartawan sedang mewawancarai menteri lain, kemudian saya lewat, menteri itu mereka (wartawan) tinggalkan dan mengejar saya.”
Susi pun menyebutkan keluhan putrinya yang belajar di AS: ‘Mami so many people follow me‘,”
Kalau ada yang menganggap hal itu boleh-boleh saja, tapi terpulang kepada ybs. juga. Kalau menggangu dan tidak bermanfaat baginya tentulah hal itu wajar dikeluhkan.
Dikesankan bahwa banyak orang yang ingin mengetahui sisi pribadi Menteri Susi. Kalau ini yang menjadi titik tolak media media massa dan media online sehingga mereka “membedah” fakta privat Susi maka itu adalah ghibah karena Susi tidak ingin fakta privat tentang dirinya dipublikasikan.
Sebagian media massa dan media online menjadikan berita tentang Susi sebagai infotainment. PB NU pernah mengusulkan agar infotainment dikategorikan sebagai ghibah sehingga haram (ditonton). Sayang, usul PB NU itu tidak mendapat dukungan dari organisasi-organisasi agama dan masyarakat [Lihat: Menyoal Nilai (Berita) Infotainment]
Ada kabar stasiun televisi mempunyai “kartu as” kalau ada ormas atau lembaga yang menyebutkan infotainment sebagai ghibah. Inilah yang membuat ormas dan lembaga tidak berani bersatu menyatakan infotainment sebagai ghibah.
Maka, sepanjang hari kita disuguhi oleh acara-cara yang bermuatan ghibah. Dan, celakanya yang menikmati ghibah itu justru orang yang beragama. *** [Syaiful W. Harahap] ***kompasiana