-->

Sabtu, 04 April 2015

Mazhab Fiqih Bukan Cuma Empat!

Sejarah telah mencatat bahwa Mazhab fiqih dalam Islam bukan hanya 4 mazhab yang banyak diketahui oleh orang-orang, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Lebih dari itu banyak sekali Imam Mujtahid Mutlak yang sederajat dengan para Imam 4 tersebut bahkan lebih pintar dan cerdas.

Hanya saja memang banyak beberapa mazhab tersebut sudah tidak diikuti, atau fatwa-fatwa mereka sudah tidak lagi sesuai dengan zaman. Dan yang masyhur sampai hari ini dan masih banyak diikuti oleh mayoritas Muslim di jagad raya ini ya 4 mazhab popular tersebut.

Walaupun ada juga yang sampai sekarang masih mengikuti pendapat selain Imam yang 4 itu dengan jumlah pengikut yang tidak banyak memang, seperti Imam Ibnu Hazm atau juga Imam Abu Ja’far yang dikenal dengan Ja’fariyyah.

Kalau kita buka kitab sejarah kita akan menemukan beberapa nama besar dalam jajaran Mujtahid Mutlak bidang Fiqih tentunya. Diantaranya Imam Al-Laits bin sa’ad (W 175 H) yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan disebut sebagai Imamnya negeri Mesir. Dan beliau jugalah Imam yang sangat dikagumi oleh Imam sayfi’i. Bahkan beliau mengatakan “Imam Al-laits lebih pintar dari Imam Malik”. (Al-A’lam Lil-Zarkali 5/248)

Di Irak semasa dengan Imam Abu HAnifah, ada juga Imam yang masyhur dengan sebutan Amirul-Mukminin Fil-Hadits (Imam Kaum Muslimin dalam Ilmu Hadits), yaitu Imam Sufyan Ats-tsauri (W 161H). Dan ternyata beliau bukan saja Imam dalam hadits, tetapi ijtihad-ijtihad beliau dalam bidang Ilmu Fiqih juga sangat dijadikan pegangan oleh kebanyakan Ulama sampai hari ini. Bahkan ketaqwaannya sebagai seorang yang Alim menjadi teladan bagi juniornya. Sempat ditawari memegang kendali politk Kuffah oleh Al-Mansour Al-Abbasi, namun ia menolah dan pada tahun 144 H beliau keluar dari Kuffah untuk menetap di mekkah.

Ada juga nama besar seperti Imam Al-Auza’i (W 157H), sang imam negeri Syam. Fatwa dan ijtihadnya diamalkan hingga ratusan tahun. Bahkan sampai hari ini, pendapat-pendapat beliau selalu menjadi perhatian bagi para ulama. Dalam kitab “Tarikh Beirut” (sejarah Beirut), sheikh Sholeh bin Yahya mengatakan: “Imam Auza’i adalah orang dengan pangkat tinggi di negeri Syam, bahkan perintah beliau lebih dihormati oleh penduduk Syam dibanding perintah Sultan Syam sendiri”.

Kemudian yang banyak dikenal oleh golongan Ahlul-Bait yang hidup jauh sebelum para Imam Mazhab 4, yaitu Imam Zaid bin Ali (W 122H) yang mazhabnya disebut dengan Zaidiyah. Dan Zaidiyah-lah mazhab fiqih yang menjadi mazhabnya Imam As-Shon’ani, pengarang Kitan Subulus-Salam. Saking cerdasnya Imam Abu HAnifah memuji cucu dari sayyidina Ali bin Abi Tholib ini dengan mengatakan bahwa “tiada orang yang lebih pintar dari Zaid dizamannya.”

Di Kalangan pengikut Imam Abu Hanifah ada nama besar, Imam Abu Yusuf (W 182H), sahabat sekaligus murid Imam Abu hAnifah sendiri. Pedapat dan ijtihadnya banyak dijadikan rujukan bagi para pengikut mazhab hanafiyah sampai hari ini. Walaupun ia tergolong sebagai Imam yang bermazhab Hanafi, tetapi tidak sedikit fatwa beliau yang justru berbeda dengan Imam Abu Hanifah sendiri. dan beliaulah orang pertama yang menyebarkan mazhab Hanafi, juga beliau lah orang pertama yang menulis Kitab Ushul Fiqih Mazhab Imam Abu Hanifah.

Juga ada nama masyhur dengan sebutan Ahli tafsir karena kitab tafsirnya yang fenomenal “Jami’ul-Bayan fi Ta’wilil-Qur’an”, yaitu Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari (W 310H). Walaupun sebagai Mufassir, beliau juga dikenal sebagai Mujtahid Mutlak ilmu Fiqih, akan tetapi mazhabnya sudah amat sangat jarang sekali kita temui di zaman sekarang.

SEBELUM MAZHAB 4

Sebelum mazhab 4 yang masyhur itu muncul, ada juga mazhab-mazhab fiqih yang berkembang dari para mujtahid-mujtahid Mutlak zaman tabi’in yang merupakan guru dan sheikh-nya para Imam Mazhab 4 itu tadi. Dan beliau-beliau inilah para alumni yang menyelesaikan pembelajarannya ditangan para Sahabat Nabi Ridhwanullahi ‘Alayhim.

Ada Sa’id bin Al-musayyab (W 94H) dan Salim bin Abdullan bin Umar (W 106H) di madinah yang banyak mengikuti pendapat kakelnya sayyidina Umar bin Khoththob. Kemudian disusul oleh Al-Zuhri (W 124H) di kota yang sama.

Di Mekkah, ada Atho’ bin Abi Robbah. Ibrahim An-Nakho’i dan Asy-Sya’bi di Kuffah. Thawus bin Kaisan dan juga Makhul dari negeri Syam. Dan masih banyak lagi semisal Ibnu Sirin, Al-aswad, Masruq, dan juga Al-Hasan di negeri Bashrah.

Dan ada Ibul-Hurmuz yang merupakan guru dari Imam Malik, Founder Mazhab Maliki. Ada cerita menarik antara Imam Malik dan Ibnul-Hurmuz sebagaimana diebutkan dalam kitab “Jami’ Bayan AL-‘Ilm Wa Fadhlih” tentang bagaimana ketaqwaan beliau dalam mengajar murid-muridnya termasuk Imam Malik. InsyaAllah kita akan bahas kemudian di forum yang sama.

SEBELUM MASA TABI’IN

Senelum para fuqoha’ dan mujtahid-mujtahid dari jajaran Tabi’in muncul terlebih dahulu guru-guru dan sheikh-sheik mereka yang adalah para Sahabat Ridhwanullah ‘Alayhim. Beliau-belau para Sahabat Nabi-lah yang telah menamatkan masa belajarnya langsung dari tangan dan mulut Nabi Muhammad SAW.

Merekalah yang menyaksikan turunnya Al-qur’an, paling tahu tentang Asbab-Nuzul. Meeka yang paling mengerti dengan Makna dan tujuan hadits yang keluar dari perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Paling memahami makna da nisi Al-qur’an, serta paling mengerti tentang Dilalah (petunjuk) lafadz syariah.

Siapa yang tidak tahu Kafaqihan Abu Bakr ra, orang pertama yang menggantikan Nabi menjadi Imam sholat ketika Nabi sakit. Kecerdasan Umar bin Khoththob. Kebijakansanaan Ustman bin ‘Affan. Kepintaran Ali bin Abi Tholib. Dan juga Ummul-Mukminin sayyidatuna ‘Aisyah ra.
Ada juga Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas yang terkenal Luwes dalam fatwanya, Ibnu Umar yang terjenal keras dan tegas dalam berfatwa. Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Imam-Imam Sahabat lainnya yang memang patut menjadi panutan dan teladan.

Akankah seorang muslim tersesat jika berpegang kepada ijtihad-ijtihad beliau semua?

Saya mengajak bagi para pembaca sekalian, terlebih jika kita seorang pengajar, penggiat dakwah dan fiqih, banyak dijadikan penutan dan banyak dijadikan tempat bertanya, penting bagi kita untuk mengetahui pendapat para Imam-Imam besar tersebut. Tidak terbatas hanya pada 4 Imam masyhur.
Fiqih adalah sesuatu yang sangat fleksibel. Dan semua fatwa dan Ijtihad para Imam itu pasti terengaruh dengan kondisi dimana sang Imam menjadi Da’i. kita tahu betul bahwa Imam syafi’I pun mempunyai 2 Qoul; Qadim (lama) sewaktu masih di Irak dan Jadid (baru) sewaktu di Mesir. Qoul yang dahulu dianggap rajah pada masa lalu bisa saja jadi Marjuh di zaman sekarang. Dan sebaliknya, qoul yang dianggap Marjuh zaman dahulu bisa saja menjadi Rajih jika diterakan di zaman sekarang.
Mengetahui pendapat-pendapat Imam lain akan membuat kita lebih terbuka. Dan pasti menjauhkan kita dari kesempitan, dan kejumudan jika berbicara tentang syariah.
wallahu A’lam

Ahmad Zarkasih

Previous
Next Post »