Pekan lalu, misalnya, rapat Pansus Angket mengundang dua pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin dan Margarito Kamis, serta ahli Komunikasi Politik Tjipta Lesmana dan Emrus Sihombing. Mereka diundang untuk diminta pendapat perihal dugaan pelanggaran kebijakan oleh Gubernur DKI Jakarta, terkait pengajuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun 2015 ke Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). DPRD menuding, RAPBD 2015 yang diajukan Gubernur palsu, bukan hasil pembahasan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan DPRD. Menurut Dewan, tindakan Gubernur menyalahi aturan dan harus dipersoalkan lewat angket.
Oleh DPRD, pendapat para ahli dijadikan dasar hukum mengangket Gubernur. Pandangan ahli menyimpulkan Ahok melakukan dua pelanggaran. Pertama, melanggar prosedur ketatanegaraan. Gubernur dinilai melakukan mal-administrasi karena mengirim RAPBD siluman ke Kemendagri, dan hal ini menyalahi prosedur ketatanegaraan yang berlaku. Kedua, melanggar etika pejabat publik. Dikatakan, sebagai Gubernur, Ahok melanggar etika karena kerap bicara tak sopan di ruang publik. Dikatakan ahli komunikasi, pejabat publik harusnya membangun komunikasi santun di hadapan publik, tidak emosional dan tidak menggunakan kata-kata kasar. Kata-kata tak santun Ahok dinilai bisa merusak karakter anak Indonesia karena mereka akan meniru gaya komunikasi buruk pemimpinnya. Atas dasar dua alasan ini, Ahok pantas diangketkan.
Mencermati alasan angket, penulis merasa perlu mengajukan dua pertanyaan. Pertama, cukup beralasankah dua argumentasi yang mendasari angket, yakni melanggar aspek teknis-prosedural ketatanegaraan dan aspek etika komunikasi? Kedua, jika DPRD hendak mempersoalkan kebijakan Gubernur yang dianggap salah, mengapa ujug-ujug DPRD langsung menggulirkan angket yang bisa berujung pemakzulan Gubernur? Padahal, secara prosedural, sebelum menggunakan angket, tersedia mekanisme lain yang lebih dulu bisa digunakan, yakni hak bertanya dan hak interpelasi. Mengapa dua mekanisme ini dilewati? Ada niat apa di balik angket? Tulisan ini membedah dua alasan angket, sekaligus mengungkap sejumlah kejanggalan di baliknya.
Substansi Angket
Hak Angket adalah hak konstitusional Dewan yang bertujuan menyelidiki dugaan pelanggaran kebijakan strategis terkait hajat hidup orang banyak oleh pemerintah (eksekutif) karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan pemahaman ini, pengajuan angket harus memenuhi sejumlah syarat. Pertama, yang dipersoalkan adalah kebijakan yang bersifat strategis; kedua, kebijakan tersebut terkait kepentingan publik/hajat hidup orang banyak; dan ketiga, kebijakan itu dinilai melanggar UU.
Itu berarti, ketika mengajukan angket, DPRD sudah mendugaan ada kebijakan strategis Gubernur terkait hajat hidup orang banyak yang melanggar UU. Sayangnya, penulis tidak melihat angket memenuhi syarat-syarat itu. Argumentasi yang dikemukakan untuk mengangket Gubernur rapuh. Angket tak lebih dari upaya mencari kesalahan Gubernur. Beberapa alasan bisa penulis kemukakan untuk itu.
Pertama, karena DPRD menggunakan angket untuk menyoal Gubernur, maka yang dipersoalkan DPRD mestinya menyangkut kebijakan strategis. Karena mengenai kebijakan, apalagi kebijakan strategis, angket tidak bisa hanya menyasar aspek teknis-prosedural. Mestinya, yang terutama dipersoalkan adalah aspek substansi, bukan teknis-prosedural. Ini tidak tercermin dalam angket. Dari angket yang diajukan, penulis tidak melihat hal-hal substantif di baliknya. Argumentasi DPRD melulu berkisar soal teknis-administratif-prosedural, yaitu perihal pengajuan RAPBD 2015 oleh Gubernur yang disebut DPRD sebagai "RAPBD Siluman" alias palsu.
Jika disimak, penulis melihat yang selalu bicara substansi justru Ahok. Ahok, misalnya, bicara tentang dana siluman 12,1 trilyun dan pentingnya menerapkan e-budgeting untuk mewujudkan tata kelola anggaran yang bertanggung jawab, transparan-akuntabel. Ahok menekankan pentingnya menerapkan e-budgeting sebagai mekanisme pengawasan internal terhadap tata kelola anggaran. Ia mendorong penerapan e-government, e-budgeting dan e-procurement karena ia yakin bisa mencegah mark-up anggaran, praktek double input anggaran, meminimalisir anggaran titipan/sisipan serta membuka akses luas publik untuk mengawasi. Ironisnya, DPRD menyatakan tidak ada keharusan menerapkan e-budgeting karena UU tidak mewajibkannya. Ahok omong aspek substansial, DPRD bicara hal artifisial.
Karena miskin substansi, angket tak mendapat dukungan publik dan publikasi luas media. Jika alasan angket berbobot, penulis yakin gaungnya tak kalah dengan angket Century sebab nilai angket Century hanya sekitar 6,7 trilyun, sementara nominal APBD jauh melampauinya. Dana siluman APBD saja disinyalir 12,1 triliun. Juga, dengan berada di ibu kota negara, di mana akses terhadap publikasi media sangat luas, harusnya angket DPRD menjadi "isu seksi" yang diulas pers. Faktanya, pers tidak antusias memberitakannya. Gemanya tak sebanding angket Century.
Kedua, jika Pansus Angket mengatakan RAPBD DKI Jakarta 2015 palsu, mengapa Kemendagri justru mengevaluasi dan merevisi RAPBD yang diajukan Gubernur? Kemendagri pasti tahu mana RAPBD asli, mana yang palsu. Jika RAPBD yang diajukan Ahok palsu, tanpa diproses lebih lanjut, Kemendagri niscaya langsung mengembalikan RAPBD itu. Justru aneh jika Kemendagri mengevaluasi dan merevisi RAPBD bodong.
Dengan mengevaluasi dan merevisi RAPBD yang diajukan Gubernur, Kemendagri menegaskan bahwa dari sisi legal-formal, teknis-administratif, juga material, RAPBD yang diajukan Ahok asli. Itu berarti, Kemendagri mengakui pengajuan RAPBD oleh Ahok memenuhi aspek teknis-prosedural dan material-substantif. Kesimpulannya, angket yang mempersoalkan pelanggaran teknis-administratif oleh Gubernur otomatis gugur.
Ketiga, terkait pelanggaran etika oleh Gubernur Ahok karena dinilai DPRD kerap bicara tak santun di ruang publik, penulis berpendapat DPRD tidak bisa membedakan mana yang dimaksud dengan etiket individu dan mana yang dimaksud dengan etika pejabat publik. Yang sebenarnya dipersoalkan DPRD adalah etiket seorang Ahok, yakni menyangkut gaya bicaranya di hadapan publik, bukan etika pejabat publik.
Etiket individu dan etika pejabat publik adalah dua hal yang berbeda secara fundamental. Etiket personal terkait sopan-santun seseorang, misalnya pola komunikasi, cara duduk, gaya berjalan, atau kebiasan meludah dan bersendawa. Sementara etika pejabat publik menyangkut bagaimana kewenangan/kekuasaan pejabat publik digunakan. Tekanannya pada "how to use power".
Apakah otoritas dan kekuasaan dipakai untuk tujuan kesejahteraan dan keadilan rakyat, demi bonum communae, atau sebaliknya guna memperkaya diri pejabat? Pentingnya etika pejabat publik berawal dari keprihatinan terhadap kondisi pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan perilaku korupsi, padahal tanggung jawab utama pejabat publik adalah melayani publik secara prima-berkualitas.
Dari uraian di atas, Ahok baru bisa disebut melanggar etika sebagai pejabat publik, bila ia melakukan tindakan "abuse of power". Jika semata soal gaya komunikasi yang dipandang tidak sopan, hal itu tidak bisa diangketkan karena terkait etiket individu, bukan etika pejabat publik. Jangan sampai hal yang sekedar bersifat norma sopan-santun alias etiket personal yang sesungguhnya selalu bersifat relatif (karena berlaku pada tempat, waktu dan situasi tertentu) dianggap sebagai substansi atau norma moral yang selalu bersifat absolut (berlaku pada segala tempat, waktu dan situasi). Soal etika pejabat publik, Ahok bukan sumber masalah.
Ia justru tengah berhadapan dengan sindikat pembuat masalah, yakni oknum politisi predatoris dan birokrat pembegal uang rakyat. Mereka sesungguhnya yang melanggar etika pejabat publik karena melakukan abuse of power.
Keempat, jika mengamati proses kemunculan angket, penulis berpendapat angket DPRD merupakan "self-defense mechanism" DPRD terhadap Gubernur Ahok. Alasannya, angket baru dimunculkan DPRD pasca Gubernur mensinyalir ada dana siluman senilai 12,1 trilyun yang dicurigai hasil permainan oknum anggota DPRD. Dengan kata lain, tuduhan DPRD bahwa Ahok mengajukan "RAPBD Siluman" baru muncul setelah Ahok meributkan dana siluman dan reaksi atas langkah Gubernur mengadukannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika demikian prosesnya, maka angket sesunggunya tidak murni karena merupakan implikasi dari konflik DPRD vs Gubernur. Itu sebabnya, hasil angket diprediksi tak akan objektif karena didasari dendam politik terhadap Gubernur. Ahok dianggap mengganggu "zona nyaman" oknum anggota DPRD yang selama ini diuntungkan dari permainan anggaran. Maka, sangat beralasan mengatakan angket sarat kepentingan elite politik, ketimbang upaya memperjuangkan kepentingan warga.
Kelima, konflik Gubernur Ahok versus DPRD tidak cukup dibaca dengan kacamata "politik kesan" (the image of politics), tapi mestinya dipahami dari perspektif "politik pesan" (the message of politics). "Politik kesan" hanya menilai suatu tindakan politik berdasarkan pengamatan indra penglihatan. Yang dilihat hanya yang tampak kasat mata dan berorietasi pada selubung (cover). Kemarahan Ahok soal dana siluman hanya dimaknai sebagai sikap pemimpin yang emosional dan suka marah. Tak lebih dari itu. Dan pemimpin demikian dipersepsikan otoriter, dan karenanya bukan pemimpin yang baik.
Di sisi lain, "politik pesan" mengajak publik merefleksikan, mengapa Ahok marah dan terhadap apa ia marah? "Politik pesan" tidak sebatas memperhatikan yang kelihatan, melainkan berusaha menangkap hakekat di balik fakta. Ahok marah karena ia tak rela uang rakyat terus "dibegal" politisi-birokrat pemburu rente (rent-seeking bureaucrats and politicians). Ahok marah terhadap perilaku koruptif- kolutif oknum DPRD dan birokrat yang gemar memperkaya diri, dan sebaliknya memiskinkan rakyat. Kemarahan Ahok adalah wujud keberpihakannya pada rakyat.
Kegetiran Ahok mestinya dibaca sebagai upayanya membongkar habitus lama tata kelola anggaran yang sarat persekongkolan, manipulasi dan korupsi. Ia hendak menghentikan "kongsi gelap" oknum legislatif-eksekutif, sekaligus mentransformasi model "politik gelap-gulita" menjadi "politik terang-benderang", sehingga anggaran negara dikelola secara bertanggung jawab, transparan-akuntabel. Kemarahan Ahok mesti diletakkan dalam konteks upayanya membongkar habitus lama, mengusung pembaruan dan menjalankan proses transformasi tata kelola pemerintahan. Pemimpin yang benar adalah yang berani membongkar kebiasaan lama menuju perubahan substantif.
Pola Relasi
Menyaksikan pertikaian Ahok vis a vis DPRD, penulis melihat secara faktual, terdapat tiga model relasi antara kepala daerah-DPRD dalam proses penyusunan APBD. Pertama, model konfliktif. Proses penganggaran model ini sarat riak, penuh perdebatan karena adanya perbedaan persepsi antara eksekutif dan legislatif. Tidak menutup kemungkinan, ujung proses ini bukannya konsensus, melainkan jalan buntu (dead lock). Konflik Ahok-DPRD contoh nyata pola relasi konfliktual antara kedua belah pihak. Ibarat air dan minyak, pandangan legislatif dan eksekutif tidak bisa dikompromikan.
Kedua, model kolegial. Model relasi kolegial adalah jenis tata kelola anggaran yang sehat dan konstruktif. Kendati ada perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif, tapi konflik berujung pada konsensus atas dasar checks and balances. Proses penyusunan anggaran model kolegial berlangsung alot karena saat membahas anggaran pasti memunculkan riak-riak akibat perbedaan pendapat, baik menyangkut nilai nominal maupun alokasinya. Namun akhirnya dicapai kesepakatan.
Ketiga, model kolutif-koruptif. Ciri menonjol pola ini adalah adanya persekongkolan kepala daerah dan DPRD dalam penyusunan APBD. Kedua pihak cenderung harmonis karena disatukan oleh kesamaan kepentingan untuk membagi "kue anggaran". Ada proses "pengkavlingan anggaran" oleh keduanya. Akibatnya, prosesnya berlangsung relatif cepat, lancar, mulus, nyaris tanpa riak berarti. Eksekutif-legislatif sejalan dalam pendapat (insight) karena sama-sama berorientasi mengakumulasi pendapatan (income). Kendati, prosesnya berlangsung mulus, tak berarti tata kelola anggarannya baik karena faktanya justru rentan terhadap kolusi dan korupsi. Karena itu, pola ini mestinya diwaspadai dan dicurigai.
Akhirnya, kisruh Ahok vs DPRD mestinya menjadi kabar gembira karena membuka mata publik perihal tata kelola anggaran yang amburadul, sarat permainan dan jauh dari prinsip ideal pengelolaan anggaran yang sehat, bertanggung jawab, transparan-akuntabel. Manuver politik Ahok ibarat "terapi kejut" untuk membuka kotak pandora, sembari membeberkan aneka kebobrokan berupa praktek korupsi dan kolusi dalam proses penyusunan APBD yang selama ini ditutupi.
Gebrakan politik Ahok di Jakarta diharapkan bisa menular ke penjuru tanah air, mengingat buruknya tata kelola anggaran terjadi hampir di seluruh provinsi, kota dan kabupaten. Sepak terjang politik Ahok bisa dijadikan role model bagi para kepala daerah lainnya untuk mulai membenahi proses penyusunan APBD secara profesional dan berintegritas. Inilah saatnya pemerintah daerah mewujudkan tata kelola anggaran secara bersih, bertanggung jawab, transparan dan akuntabel. Kuncinya, dibutuhkan pemimpin daerah yang bersih, berani dan cerdas. Kepala daerah dengan kualifikasi standar diragukan mampu melakukan hal ini.*
'
O l e h Ansy Lema
Direktur Eksekutif The Deliberasi Institute, Dosen FISIP Universitas Nasional (Unas), Jakarta