Dia menjadi tawanan bangsa Romawi, dimasukkan ke dalam penjara oleh penguasa yang kejam. Di dalam penjara disediakan minuman yang dicampur arak dan daging babi panggang, untuk dimakan saat lapar dan minum khamar, ketiga macam suguhan itu sama sekali tidak disentuhnya.
Lalu ia dikeluarkan dari penjara saat mereka mengkhawatirkan kematiannya. Dia berkata pada dirinya, “Demi Allah, sesungguhnya ini semua telah menjadi halal bagiku karena aku dalam kondisi terpaksa, hanya saja aku tidak ingin berbahagia di atas bencana yang menimpa kalian dengan sebab berpegang teguh pada Islam.”
Dialah Abdullah bin Hudzafah…
Abu Rafi’ berkata, “Umar mengirim pasukan tentara ke Romawi. Kemudian musuh menangkap Abdullah bin Hudzafah sebagai tawanan perang, lalu dihadapkan kepada raja, mereka berkata, ‘Orang ini termasuk sahabat dekat Muhammad.’
Raja bertanya, ‘Maukah kamu masuk agama Nasrani dengan imbalan setengah kekuasaanku aku berikan kepadamu?’
Abdullah bin Hudzafah menjawab, ‘Sekiranya engkau berikan seluruh kekuasaanmu kepadaku, dan seluruh yang dimiliki bangsa Arab, aku tidak akan pernah meninggalkan agama Muhammad sekejap mata pun.’
Raja berkata, ‘Jika demikian berarti kamu mesti dihukum mati!’
Abdullah menjawab, ‘Terserah kamu!’
Kemudian diperintahkan agar dilaksanakan hukuman mati atasnya, ia diletakkan dalam tiang salib. Raja berkata, ‘Bidiklah ia dari dekat!’
Raja berkata demikian sambil menawarkan agama Nasrani kepadanya, namun ia tetap menolak. Lalu ia diturunkan dari tiang salib.
Raja kemudian meminta supaya ajudan merebus air hingga mendidih dan memanggil dua orang tawanan muslim. Salah satu dari mereka dilemparkan ke dalam periuk itu, kemudian raja menawarkan kepada Abdullah untuk pindah agama. Ia tetap menolak tawaran tersebut. Kemudian Abdullah menangis.
Karena tangisan ini, ada seseorang yang menyampaikan kepada raja bahwa Abdullah menangis. Maka Raja pun mengira bahwa Abdullah telah berputus asa.
Raja berkata, ‘Bawalah kemari!’
Raja bertanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu menangis?’
Abdullah menjawab, ‘Karena aku hanya mempunyai satu nyawa yang apabila dilemparkan ke dalam periuk itu maka langsung akan musnah. Aku membayangkan, alangkah bahagia sekiranya aku mempunyai nyawa sebanyak jumlah rambutku yang merasakan siksaan seperti itu dalam rangka mempertahankan agama Allah.’
Raja berkata, ‘Apakah kamu bersedia mencium kepalaku, agar kamu bebas?’
Abdullah menjawab, ‘Bersama seluruh tawanan Muslim?’
Raja menjawab, ‘Ya.’
Maka Abdullah mencium kepala raja.
Selanjutnya para tawanan Muslim yang telah bebas itu menghadap Umar dan menceritakan semua yang terjadi.
Umar berkata, ‘Adalah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mencium kepala Ibnu Hudzafah, dan akulah orang yang pertama yang akan memulainya.’ Lalu Umar mencium kepala Abdullah.” (Usudul Ghabah, 3/212.)